Listen Now

Ngobrolin Hidup for Prambors Podcastar! Pernah membayangkan berada didua umur berbeda dengan ketakutan berbeda disetiap waktunya? Sebagai dua orang yang berbeda, Raka dan Nisa berusaha jujur dengan ketakutan yang mereka alami diumur mereka sekarang. Ketakutan yang sebenarnya (mungkin) pasti dialami setiap dari manusia pada proses dewasa dirinya, tapi enggan untuk dibicarakan dan memilih untuk dijalani saja.

Banyak yang kira menjadi seorang direktur itu mudah, berada di atas lalu bisa melakukan seenaknya karena mempunyai tim. Untuk yang tidak tahu, menjadi direktur berarti siap untuk dibenci, siap untuk dicaci. Menjadi pemimpin tidak selalu menyenangkan dan bisa membuat semua orang senang. Satu pepatah yang selalu saya pegang: "If you want to make everyone happy, then sell ice cream. Don't be a leader"

Menjadi seorang pemimpin berarti siap mengorbankan banyak hal dalam berproses. Entah soal waktu atau pemahaman yang membuat proses menjadi mudah sehingga pengorbanan itu cepat atau lambat bisa berkurang, tapi menjadi pemimpin juga bagaimana kita siap dengan segala resikonya.

Menjadi seorang direktur di usia 28 tahun adalah hal yang paling menantang. Bagaimana menyeimbangkan antara emosi dengan empati merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi. Podcast Hidup Seorang Direktur menggambarkan jelas bagaimana kehidupan saya dalam kerangka posisi tertinggi pada sebuah organisasi profesional.

Masyarakat menilai bahwa tokoh publik selalu terlihat kuat dan kokoh. Padahal di balik semua itu mereka hanya manusia biasa. Menangis, mengeluh, hingga berada di titik paling rendah adalah hal yang wajar.

Kehilangan adalah sebuah kepastian. Menjaganya sebelum 'diambil' kembali oleh Yang punya adalah keharusan. Maka, ketika Dia mengambilnya, kita bisa mengembalikannya secara utuh seperti saat Dia memberikannya kepada kita. Podcast ini saya dedikasikan untuk seorang teman yang baru saja kehilangan kakaknya. Untuk teman terbaik, Chairun Nisa.

Menjadi manusia berarti harus siap dengan konsekuensi gagal di dalam prosesnya. Namun, seringkali gagal diartikan sebagai sebuah kejatuhan, kehancuran, kelemahan. Padahal seharusnya gagal adalah cara Tuhan menyayangi hamba-Nya. Di akhir ada bonus lanjutan dari episode Menjadi Orang Tua. Lalu, apakah gagal itu?

Tepat 1 tahun setelah upload pertama untuk Celoteh Tengah Malam. Ini adalah bentuk apresiasi bagi diri sendiri yang mulai konsisten terhadap dunia podcast.

Sebuah pengantar bagi kamu yang selalu gelisah menjelang tidur.

Menjadi berbeda di Indonesia dapat dibilang cukup sulit. Apalagi, menjadi sesuatu yang tidak jamak bagi masyarakat. Perbincangan soal hidup kali ini sungguh sensitif. Masalah orientasi seksual dan keyakinan tidak sering diangkat ke muka publik. Namun, Ana (begitu dia ingin dipanggil) dengan tegas dan bangga mendeklarasikan dirinya berbeda.

Wow! Warganet mulai ngegas saya tidak update podcast. Terima kasih atas antusiasnya ya, saya terbantu untuk konsisten update podcast yang tidak seberapa ini. Here we go, pertanyaan warganet di instagram saya bahas secara dalam.

Sakit dan lelah berada disebuah hubungan adalah tanda bahwa ada yang tidak beres disana. Ketika tidak bisa dibicarakan baik-baik, kenapa harus dipertahankan?

Ketika rakyat bersatu sebagai rakyat, bahkan pemerintah dengan senjata pena dan bedil pun tidak dapat menghalangi. Ini ada cerita tentang aksi massa di Jakarta, 24 September 2019 untuk mengawal pemerintah yang sedang ugal-ugalan dengan berbagai UU-nya.

Pada akhirnya semua perbincangan soal kehidupan ini bermuara di saya. Semua ini adalah bagaimana saya dan proses yang melelahkan ini bisa saling terhubung satu sama lain untuk mengomunikasikannya kepada semesta bahwa saya sedang tidak baik-baik saja. Hmm, apapun itu semoga proses ini bisa mendewasakan kita semua.

Kita sering tidak paham tentang posisi kita di dalam keluarga, proses menggapai cita, dan negara. Lalu, bagaimana bisa kita berharap pada hasil yang baik jika semua itu tidak pernah kita bayangkan sebelumnya?

Hidup sebagai mayoritas dan minoritas mungkin sudah biasa bagi beberapa orang, tapi bagaimana jika hidup sebagai seorang yang asing? Apakah masih bisa merasakan yang sewajarnya?

Apa pekerjaan kamu? Seorang abdi negara atau pegawai 9-6? Kamu yang melakukan akivitas luar ruangan atau nyaman di bawah pendingin ruangan? Apapun itu, pernahkah kamu berbicara pada apa yang kamu lakukan sehari-hari itu adalah yang kamu inginkan?

Berapa kali dalam hidup kita berbicara pada diri sendiri, sebenarnya apa sih yang kita inginkan dan tuju? Setelah itu, apa pernah kita bicarakan hal itu kepada mereka yang mendampingi kita?

Terima kasih Prima, Rizka, Kak Artiarini, Lita, dan Mas Sandie.

Selama ini kita selalu melihat dari sudut pandang seorang anak. Pernah berpikir bagaimana melihat dari sudut pandang orang tua? Seberapa durhakanya kita dengan ketidakadilan rasa untuk mereka yang membesarkan kita.